~
Ardy Kresna Crenata ~
Majunya
peradaban umat manusia kadung dicirikan oleh transformasi sosiologis dari
masyarakat agraris ke masyarakat industri, dari masyarakat komunal yang begitu
dekat dengan alam ke masyarakat individual yang begitu berjarak dari alam, dari
masyarakat yang masih sangat mengandalkan tubuh untuk melakukan
pemaknaan-pemaknaan ke masyarakat yang telah sangat bergantung kepada teknologi
dalam keseharian mereka. Yuval Noah Harari, misalnya, dalam bukunya yang
terkenal itu, Sapiens: Sejarah Ringkas
Umat Manusia dari Zaman Batu hingga Perkiraan Kepunahannya (Alvabet, 2017;
terjemahan Yanto Musthofa), mengatakan bahwa arah evolusi perilaku manusia
adalah dari organisme yang semula menyerahkan penilaian-penilaian ke tangan
sosok abstrak semacam Tuhan menuju organisme yang menyerahkan
penilaian-penilaian ke tangan sesuatu yang bernas dan konkret seperti
algoritma.
Tentu,
ini sebuah simplifikasi, generalisasi, juga linearisasi. Memang arus dominan
transformasi sosiologis yang dialami manusia di planet ini kira-kira seperti
itu, tetapi ada banyak arus lain yang tak bisa diabaikan dan tak semestinya
diabaikan, dan masih bertahannya arus-arus ini menunjukkan betapa mereka
sebenarnya cukup mampu bersaing dengan arus dominan tadi, dan di saat yang sama
menunjukkan betapa tidak sempurnanya sesungguhnya arus dominan itu. Misalnya,
ketika kita bicara soal realitas industri di perkotaan yang memanjakan kita
dengan kepraktisan, kita sejatinya bicara juga soal kehidupan yang gegas, soal
ruang dan waktu yang dimaknai ulang sebagai kapital, soal individu-individu
yang teralienasi dan sekat-sekat maya yang terbentuk bahkan dalam sebuah ruang
hidup yang sempit. Ada studi-studi yang mendapati bahwa masyarakat modern yang
terpisahkan jauh dari alam lebih rentan diserang depresi ketimbang masyarakat
primitif yang, bisa dibilang, masih sangat menyatu dengan alam. Termodernisasinya
ruang-ruang hidup, yang menjadikan realitas semakin kompleks, pada akhirnya melahirkan
masalah-masalah baru, selain tentunya meningkatkan kadar kompleksitas dari masalah-masalah
yang sudah ada.
Dan
sebagai akibatnya masyarakat modern, atau manusia-manusia yang berada di
ruang-ruang hidup termodernisasi, senantiasa dihantam kecemasan demi kecemasan,
baik itu yang diwariskan oleh masyarakat primitif maupun kecemasan-kecemasan
baru. Ada memang kecemasan-kecemasan yang hilang atau berhasil diatasi, seperti
kecemasan akan ancaman predator di alam liar atau ancaman akan maraknya
infantisida, sehingga mungkin kita pun berpikir peradaban memang bergerak maju,
menuju dirinya yang lebih baik. Tetapi sekali lagi, termodernisasinya
ruang-ruang hidup diikuti juga oleh lahirnya kecemasan-kecemasan baru, yang tak
kalah mengganggunya. Misalnya, kecemasan akan kemungkinan tidak memiliki rumah
tinggal, atau kecemasan akan arah pertumbuhan kota yang keliru, atau kecemasan
akan semakin kuatnya perasaan teralienasi seiring semakin kompleksnya
ruang-ruang hidup. Kemajuan itu, tak pelak lagi, pada akhirnya hanyalah
“kemajuan”. Manusia-manusia modern tidak bisa begitu saja dinilai menjalani
hidup yang lebih baik daripada manusia-manusia primitif, tidak sesederhana yang
dipikirkan Yuval Noah Harari di bukunya tadi itu.
___
Dan
nada skeptis-cum-pesimistis inilah yang kita rasakan saat kita membaca
puisi-puisi Adin di dalam buku ini—sebagian besar. Adin menghadirkan sosok-sosok
yang terjebak di ruang-ruang hidup yang telah termodernisasi—kota,
katakanlah—dan, seperti telah kita bahas tadi, senantiasa dihantam kecemasan demi
kecemasan, kekecewaan demi kekecewaan, kegamangan demi kegamangan. Ada seseorang
yang tak bisa tidur di dini hari dan ia merindukan sejumlah hal manis yang
didapatinya di masa lalunya, sekaligus mencemaskan hal-hal pahit yang mungkin
menantinya di masa depan (“Suara Tiang Listrik Dini Hari II”); ada seseorang
yang tidak tahan cuaca dingin dan terperangkap di dalam situasi di mana ia
memikirkan banyak hal yang mengganggunya—rentenir yang cerewet, janji yang
ditagih, utang-utang jatuh tempo—dan kecemasan pun dengan kuat mencengkeramnya
(“Bocor”); ada juga seseorang yang tertinggal sendirian di taman dan berharap
kegelapan yang datang bersama malam akan mengakhiri kecemasan yang dirasakannya
(“Semua Pulang Telah Bersarang”). Adin menonjolkan dan menguatkan kecemasan
sosok-sosok ini dengan memilih frasa-frasa yang gelap seperti “lubang yang
berlarat-larat” dan “kamar-kamar yang angker”—tanda pisah “-”dari saya; atau
diksi-diksi yang dingin seperti “sendirian”, “menggenangi lantai rumah”, dan “
tiang listrik”. Situasi atau ruang-waktu yang dialami sosok-sosok itu pun
begitu: dini hari, dini hari ketika turun hujan, sore hening menjelang malam.
Adin seperti ingin menunjukkan betapa manusia-manusia modern sesungguhnya adalah
sosok-sosok yang rentan dan jauh dari yang mereka cita-citakan, yakni kehidupan
yang sepenuhnya jauh lebih baik.
Dan
kerentanan manusia-manusia modern ini tidak hanya sebagai individu-individu,
namun juga sebagai sebuah entitas kolektif, sebagai sebuah komune. Dalam hal
ini Adin tidak menggunakan aku
melainkan kita, yang berarti ia
menyertakan kita juga selaku pembaca; di mana kita di sini tentu saja sarat dengan kecemasan, kekecewaan, dan
kegamangan tadi. Misalnya, kita kecewa karena capaian-capaian positif yang ada dan
dielu-elukan ternyata tidak benar-benar berdampak pada meningkatnya kualitas
hidup kita (“Bola”); kita kecewa karena hingga saat ini kita masih saja bisa saling
berperang atas nama Tuhan (“Yang Masih”); kita kecewa karena sejarah masih saja
sering kita pahami sebagai sebuah kebenaran objektif yang tunggal dan kaku
(“Yang Sakit”, “Yang Sakit II”). Manusia-manusia modern, yang konon
peradabannya telah jauh lebih maju itu, dalam beberapa hal ternyata masih
begitu-begitu saja, dan mungkin akan selalu begitu-begitu saja. Modernitas jadi
seperti hanya latar, hanya sesuatu yang bergerak tanpa benar-benar menyertakan
mereka, menyertakan kita. Dan kita pun menjadi cemas membayangkan realitas
seperti ini masih akan kita hadapi berpuluh-puluh, beratus-ratus, bahkan
beribu-ribu tahun dari sekarang.
Dan
kecemasan-kecemasan ini pada akhirnya menggerogoti kita, membentuk
lubang-lubang yang dalam di dalam diri kita—baik sebagai individu ataupun
komune. Dan sebagai akibatnya kita jadi semakin mudah kecewa, jadi semakin
sulit merasa puas, jadi semakin sukar menikmati apa-apa yang tersaji di hadapan
kita namun tak sesuai dengan ekspektasi kita. Dan sesuatu ini bisa apa saja
mulai dari realitas dan tampilan kota (“Liang”, “Kota I”, “Kota II”) hingga
hubungan percintaan yang biasa (“Hati”, “Memoar Buruk Sim Card”, “Susah
Tidur”). Kita, manusia-manusia modern ini, seakan-akan diciptakan untuk tidak
bahagia, untuk terus mengalami kehilangan demi kehilangan yang berdampak pada
bertambahnya lubang-lubang di dalam diri kita (“Lobang Kedua”, “Lobang Ketiga”,
“Muasal Lubang”).
___
Tetapi
puisi-puisinya Adin sebenarnya tidak melulu bicara soal kecemasan dan hal-hal
gelap lainnya. Tidak hanya itu. Modernisasi, juga kompleksitas yang
mengikutinya, pada momen yang tepat bisa juga membawa cahaya, dalam hal ini cahaya
berupa bangkit dan tumbuhnya kesadaran akan ruang, waktu, juga realitas itu
sendiri. Ini memang sesuatu yang mestinya ada di dalam diri manusia sebagai
makhluk yang berpikir, sebagai organisme yang evolusinya lebih terfokus pada
evolusi perilaku ketimbang evolusi bentuk—morfologi, fisiologi, dan yang
semacamnya. Adin cukup jeli menangkap hal ini, dan ia pun cukup lihai
menghadirkannya kepada kita lewat puisi-puisinya itu.
Misalnya
di puisi “Tempat Parkir” dan “Tempat Parkir 2”. Sebagai sesuatu yang ada di dalam
realitas yang dijalani manusia-manusia modern yang dihantui kecemasan, tempat
parkir bukan sekadar ruang, tetapi ruang-waktu, tetapi ruang yang hidup dan
tumbuh dengan caranya sendiri, tetapi ruang yang mampu menahan dan mengikat
kita dan di saat yang sama menghubungkan kita dengan sekian banyak hal yang
pernah dan sedang kita alami—dan mereka tak di sana. Tempat parkir, meski oleh
kebanyakan orang mungkin hanya dilihat sebagai semata ruang, di tangan Adin
tersaji sebagai sebuah entitas yang mampu mengingatkan kita akan banyak hal,
sekaligus menyadarkan kita akan sesuatu hal—seperti apa sebenarnya kehilangan
itu.
Hal
serupa (baca: memaknai ruang sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar ruang)
dilakukan Adin di puisi-puisinya yang lain seperti “Rumah 2” , “Tidak Ada Orang
di Rumah I”, dan “Tidak Ada Orang di Rumah II”. Memang kecemasan yang gelap
masih sangat terasa terutama di dua puisi yang disebut belakangan, tetapi rumah
telah menjelma sebuah entitas yang hidup tadi, yang mencoba bicara kepada kita
dengan caranya sendiri. Rumah adalah ruang yang mengingatkan kita akan kuatnya
kesepian kita, akan pekatnya kegelapan di dalam diri kita, akan masih
menganganya luka-luka kita. Di saat yang sama, rumah adalah ruang yang
menyadarkan kita bahwa kita selalu bisa kembali, di mana ia akan selalu menerima
kita, terlepas dari kita membawa sesuatu atau tidak sama sekali.
Dan
begitu pulalah pemaknaan yang dilakukan Adin terhadap ruang-ruang yang lebih
sempit seperti yang dilakukannya di “Ruang Tamu”, “Ruang Baca”, dan “Gudang”. Ruang-ruang
ini hidup dan menjadi saksi atas hidup yang kita lalui, atas
pertemuan-pertemuan dan perpisahan-perpisahan yang kita alami, atas kedewasaan
yang pada akhirnya menghampiri kita dan memeluk kita. Bahkan salah satunya,
yakni ruang tamu, dicitrakan dengan sangat antropomorfis, di mana di sana
justru ialah yang menunggu, bukan kita atau siapa pun yang sedang berada di
sana atau pernah di sana.
___
Di
titik ini, kita harus memahami bahwa tumbuhnya kesadaran akan ruang, waktu, dan
realitas tersebut tidak terisolasi dari kecemasan-kecemasan yang sebelumnya
dibahas tadi; keduanya, justru, berada di sebuah ruang yang sama, sehingga bisa
dikatakan bahwa manusia-manusia modern di puisi-puisinya Adin senantiasa berada
di dalam pertarungan yang tak selesai-selesai, antara meratapi
kecemasan-kecemasan itu atau menerimanya dan menjalaninya demi membuka ruang
bagi tumbuhnya kesadaran tadi. Kedua kutub ini berkelindan; kadang saking
berkelindannya menjadi tak terpisahkan, bahwa di diri manusia-manusia modern di
puisi-puisi Adin telah tumbuh kesadaran akan ruang, waktu, dan realitas, tetapi
mereka masih saja dicabik-cabik oleh kecemasan-kecemasan mereka, masih saja
meratapi betapa lubang-lubang di dalam diri mereka semakin banyak dan semakin
dalam.
Dan
situasi ini agaknya dihadapi juga oleh Adin selaku si penyair. Jika kita bicara
soal bentuk puisi-puisinya, misalnya, Adin tampak terjebak di dalam pertarungan
yang tak selesai-selesai, antara meniru bentuk satu atau meniru bentuk lain,
antara mencoba bermain-main dengan bentuk atau menyerahkan sepenuhnya bobot
puisi-puisinya kepada konsep, kepada gagasan, kepada perspektif si penyair yang
tergambarkan di sana. Di sejumlah puisinya, misalnya, Adin tampak meniru bentuk
puisi Sapardi Djoko Damono namun membuatnya lebih lirih dan melankolis.
Sementara itu di sejumlah puisinya yang lain, Adin tampak meniru bentuk puisi
Joko Pinurbo namun membuatnya lebih pedih dan sentimental. Sedangkan di
kebanyakan puisinya, Adin tampak berserah kepada bentuk liris yang diwarnai oleh
kecemasan yang berlarut-larut dan berkarat-karat. Kecemasan, kemurungan. Kepedihan
yang lirih, yang sentimental. Warna inilah yang barangkali berusaha
dipertahankan Adin di tiap-tiap puisinya itu, meski kadar dan wujudnya bisa
sangat lain dari puisi satu ke puisi lain. Pertanyaan kita, tentu: kenapa Adin
tidak berusaha memusatkan warna yang dipilihnya ini ke dalam sebuah bentuk yang
relatif khas, yang relatif kuat dan menonjol, yang akan memudahkan kita selaku
pembaca untuk mengenali puisi-puisinya?
Tetapi
barangkali Adin memang tidak berpikir ke sana. Barangkali, sebagai seseorang yang
aktif berkesenian, Adin sangat terpengaruh oleh seni (rupa) konseptual,
sehingga ia menempatkan konsep di atas bentuk, sehingga ia tak peduli pada
tercapainya sebuah bentuk puisi yang khas selama sesuatu konseptual yang
berusaha disampaikannya itu tersampaikan—sesedikit atau sesamar apa pun itu.
Kecenderungan ini bahkan tampak dari bagaimana Adin memilih diksi dan bentukan
kalimat dan bahkan ruang, di mana ia tidak terlihat berupaya membenturkan
pembaca kepada kata-kata atau kalimat-kalimat yang asing atau tak lazim, di
mana ia tak terlihat berusaha menghadapkan pembaca kepada situasi-situasi yang
membuat mereka berpikir bahwa bisa jadi mereka adalah Liyan. Yang dihadirkan
Adin, di puisi-puisinya itu, adalah kata-kata yang kita kenal, adalah
bentukan-bentukan kalimat yang tak mengejutkan kita, adalah ruang-ruang atau
situasi-situasi yang umum kita hadapi sebagai manusia modern.
Dan
terkait hal ini wajar saja jika kita kemudian jadi bertanya-tanya bagaimana
sebenarnya Adin memaknai puisi, seperti apa persisnya Adin melihat dan
memperlakukan puisi. Satu hal yang bisa kita pastikan: puisi bagi Adin adalah
ruang bagi kecemasan-kecemasannya, di mana di sini ia memosisikan dirinya
secara simbolis, sebagai representasi manusia modern. Tetapi jika hanya sebatas
itu maka puisi tidak akan ada bedanya dari cerita pendek, dari catatan harian,
dari curhatan seorang influencer di channel YouTube-nya. Memang, di
puisi-puisi Adin ada kedalaman, tetapi kedalaman bisa juga ada dan kita temukan
di ruang-ruang lain itu, di bentuk-bentuk ekspresi yang lain itu. Membaca
puisi-puisi Adin di buku ini tidak membawa kita sampai pada pemahaman yang
spesifik soal puisi itu apa dan apa yang membedakannya dari bukan-puisi. Atau
mungkin, bisa jadi, Adin selaku si penyair memang tak begitu peduli akan hal
ini. Bisa jadi, karena ia begitu terpengaruh oleh seni konseptual, ia tak
melihat pendefinisian semacam ini penting. Puisi adalah ruang di mana ia bisa menuangkan
kecemasan-kecemasannya. Ia tak berbeda dari ruang-ruang lain kecuali kita
melihatnya berbeda, kecuali Adin selaku si penyair memaknainya sebagai ruang
yang berbeda dari ruang-ruang lain itu.
___
Dan
pada akhirnya, pembacaan kita atas puisi-puisi Adin ini pun bisa jadi adalah pembacaan
yang tak selesai. Kita masih bisa terus bertanya-tanya dan bertanya-tanya. Kita
masih bisa terus mencoba menemukan benang merah yang menghubungkan puisi satu
dengan puisi-puisi lain. Misalnya, di sejumlah puisinya Adin secara kentara
menghadirkan masa lalu sebagai sesuatu yang mengintai sekaligus mengancam,
sedangkan di sejumlah puisinya yang lain Adin menghadirkan cinta yang
dicitrakan buruk atau berakhir buruk, dan di sejumlah puisinya yang lain lagi
Adin menghadirkan kematian yang senantiasa membayang-bayangi dan menanti kita.
Tentu, jika kita menyederhanakannya, kita bisa melihatnya sebagai kecemasan,
seperti telah kita lakukan tadi. Tetapi pembacaan seperti ini sekali lagi
adalah pembacaan yang tak selesai. Sebab, berbeda dengan kecemasan-kecemasan
yang kita bahas tadi, yang begitu erat kaitannya dengan modernitas atau
termodernisasinya ruang-ruang hidup, kecemasan-kecemasan yang kita bicarakan
ini adalah kecemasan-kecemasan yang kiranya telah ada jauh sebelum modernitas
itu ada; semacam kecemasan yang diwariskan oleh masyarakat primitif, katakanlah.
Dan itu berarti satu hal: kita, semestinya, memang membahasnya, secara
spesifik, di ruang yang berbeda. Dan jangan lupa, kita pun bahkan belum
membahas puisi “Lubang Pertama”, padahal puisi inilah yang judulnya dijadikan
judul buku yang kita pegang ini.
Tetapi
kita tidak akan melakukan itu. Tidak kali ini. Tidak di tulisan ini. Anggap
saja ini sebuah pernyataan simbolis dari kita selaku si pembaca, bahwa
aktivitas membaca itu sendiri adalah sesuatu yang tak selesai, yang tak akan
pernah selesai. Ketika kita kelak mencoba melakukan pembacaan ulang atas
puisi-puisi Adin di buku ini, sangat mungkin, kita menemukan hal-hal lain, dan
pada akhirnya kita terarah ke benang merah-benang merah lain, ke kesimpulan-kesimpulan
lain. Pembacaan kita kali ini dengan demikian hanyalah satu proses dari sekian
banyak proses yang bisa ditempuh, hanyalah satu langkah dari sekian banyak
langkah yang bisa diambil. Dan kita akan mencukupkannya sampai di sini. Selanjutnya
kita beri ruang bagi pembaca-pembaca lain untuk melakukan
pembacaan-pembacaannya masing-masing, yang tidak harus sama atau sejalan dengan
pembacaan kita ini.(*)
—Bogor,
14-15 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar