Adin Hysteria*
Bagaimana keteraturan dipelihara dalam kondisi
kontestasi lahan dan berbagai kesempatan yang kian sengit? Problem of order
telah menjadi perhatian banyak ilmuwan sosial sejak dulu. Kita ingat
industrialisasi di Inggris abad 18 membuat banyak orang memikir ulang apa
kondisi alami bagi manusia dan masyarakat dan bagaimana disruptivitas terjadi
bisa diminimalisir dampak buruknya. Renggangnya kohesifitas masyarakat akibat
perubahan kebudayaan ratusan tahun lalu terjadi dan saat ini kita menghadapinya
lagi seiring dengan berubahnya polarisasi kekuatan-kekuatan global, cara
pandang kita terhadap alam, dan kelangsungan spesies manusia itu sendiri. Debat
itulah yang mengantar saya untuk mengikuti Global Solutions Summit (GSS) dan Young
Global Changers (YGC) di Berlin beberapa waktu lalu dengan difasilitasi oleh
Frederich Ebert Stiftung (FES) Indonesia. Tema ini tak jauh dari penelitian
saya di Kampung Bustaman, Semarang yang mempunyai peristiwa menarik. Luasannya
yang tidak lebih dari 0,5 hektar ini berdasar sensus tahun 2015 dihuni 130an
jiwa yang menariknya tiap tahun mengalami kenaikan jumlah karena angka
kelahiran maupun para pendatang oleh hubungan pekerjaan maupun perkawinan yang
ditarik ke dalam, tinggal di kampung. Beberapa warga yang telah pindahpun di
masa tua memutuskan untuk memiliki sepetak tanah jika ada warga yang lain
menjualnya. Kampung Bustaman telah menjadi magnet sendiri bagi warga dengan
segala kekurangan dan kelebihannya. Akan halnya Eropa yang dalam beberapa tahun
terakhir ini menjadi magnet yang kuat bagi para imigran timur tengah atau
negara-negara terdekat. Trend ini sejalan dengan meningkatnya minat urbanisasi
di berbagai kota di belahan dunia lain karena janji keterjaminan pemenuhan
kebutuhan ekonomi dan berbagai pemenuhan hasrat menubuh di kota itu sendiri.
Sisi lainnya, pertambahan populasi dan migrasi ini
membuat daya lingkungan terancam dan juga memaksa populasi yang tinggal di
dalamnya beradaptasi dan menegosiasikan nilai-nilai baru. Percobaan tikus
Calhoun beberapa dekade lalu memberikan gambaran mimpi buruk terhadap
meledaknya populasi yang berakhir dengan kanibalisme pada tikus. Tak heran
ambisi Thanos untuk menghapus setengah populasi mahluk hidup dalam semesta
Marvel beresonansi dengan gagasan Malthusian mengenai kontrol populasi untuk
mencegah chaos. Isu ini juga telah lama menjadi perhatian China yang melakukan
kontrol populasi secara ketat dan terbukti dalam beberapa poin sukses juga
mempertahankan order di kawasan-kawasan apartemen super sempit dan bercorak
vertikal. Namun, bagaimanakah hal itu bisa diorganisir? Tegangan apa yang
muncul dan bagaimana cara-cara meminimalisir konflik? Berkaca pada kasus
Kampung Bustaman, sesungguhnya masyarakat itu selalu terfragmentasi sekaligus
mempunyai daya rekat yang bisa melonggar, mengetat dan tak jarang relasi ini
menimbulkan konflik. Sebagai kampung yang mayoritas etnis jawa dan beragama
Islam tentu basis nilainya hampir sama. Namun bukan berarti kesamaan ini bersifat
stagnan, tak jarang karena konflik kepentingan misalnya perebutan suara
perolehan pemilu, kecemburuan sosial akibat kesenjangan ekonomi juga mengemuka
dan tentu saja kontestasi lahan yang sempit sementara manusia berkembang biak
muncul laten. Tegangan-tegangan itu bisa diminimalisir dan dikelola misalnya
karena hubungan kekerabatan, dalam kasus Bustaman hampir penduduk lamanya
bersaudara sama lain karena ikatan perkawinan dan semacamnya. Tapi itu bukan
jaminan juga, justru karena kekerabatan kadang kampung mengalami stagnasi
karena rasa ewuh pekewuh. Saya membayangkan jika konsep kekerabatan dalam
masyarakat yang kompleks tidak hanya berlangsung melalui perkawinan tetapi
kesamaan visi mengenai masa depan manusia tentu akan lebih mudah mencapai
tujuan bersama meski itu tidak pernah mudah. Terlebih penting adalah peranan
para aktor yang aktif di dalam masyarakat, saya rasa hal ini berlaku tidak
hanya di Bustaman maupun di tingkat makro sekalipun mengingat baik kesamaan
maupun perbedaan itu bisa jadi berkah sekaligus bencana tergantung bagaimana
narasi ini digunakan. Tak heran studi-studi antropologi dalam beberapa tahun
belakangan fokus pada peranan aktor tidak hanya aktor manusia tetapi juga non
human. Keberadaan Kampung Bustaman tentu tak bisa dipisahkan dari perdagangan
kambing yang jejaringnya mencakup beberapa kota dan dagingnya didistribusikan
di Semarang. Kambing ini, dalam beberapa hal, menjadi lem sosial masyarakat
untuk memproduksi dan mereproduksi ikatan-ikatan sosial yang bertahun ada.
Demikian juga dalamkonteks global, banyak narasi yang bisa digunakan untuk
menjadi perekat sosial namun sekali lagi peranan aktor menjadi sangat
signifikan. Dalam studi-sttudi antropocene, sekarang banyak dihitung bagaimana
non human actor, misalnya akibat kebocoran nuklir dan aktivitas pertambangan
telah mengubah struktur geologi bumi kita. Pekerjaan rumahnya kemudian adalah
bagaimana memaksimalkan narasi ini dan menjadi landasan kebijakan lebih baik ke
depan.
Bersamaan dengan isu kohesi sosial, dibahas pula
perlunya mengubah paradigma kapitalisme yang hari ini dianggap menjadi
penyumbang terbesar isu ketidakadilan. Tentu saja masih banyak isu lain dalam
GSS dan YGC ini namun saya memberikan perhatian lebih pada kedua isu ini saja. Bahasan
mengenai bagaimana kita perlu mengubah persepsi pada dunia bukanlah hal baru.
Berbagai pendekatan termasuk agenda-agenda utama jaringan global seperti PBB,
World Bank, G20 dan banyak lagi yang lain berusaha memberikan wacana-wacana
alternatif demi kehidupan lebih baik. Namun entah mengapa banyak niat-niat baik
itu berakhir dengan penerapan kebijakan tidak tepat. Di hadapan semua upaya
yang pernah dibangun kadang saya merasa kecil apa yang bisa kita sumbangkan
untuk dunia di tengah kontestasi kekuatan-kekuatan global. Menghadapi
polarisasi kekuatan global yang memaksa kita berkompetisi dan saling
mendominasi tentu kita perlu sebuah narasi baru misalnya. Perubahan iklim pada
satu kasus membuka mata kita bahwa ini adalah persoalan kita bersama. Sudut
pandang antropomorfisme yang memusatkan manusia sebagai pewaris sah dunia telah
dikritik sejak lama berbarengan dengan kritik terhadap modernisme yang
menempatkan rasionalitas manusia adalah segalanya. Kerusakan lingkungan yang
terjadi sudah jamak kita ketahui adalah akibat dari keserakahan manusia.
Laporan Credit Suisse yang dipublikasikan The Guardian, Minggu (17/11/2017)
menyatakan bahwa 1% populasi manusia menguasai 90-90 % dari total kekayaan
global, bisa dikatakan bahwa 1% inilah yang memegang kontrol dan relevan dengan
Gandhi “Bumi menyediakan cukup kebutuhan
bagi seluruh manusia, tetapi tidak pernah cukup untuk memenuhi keserakahan
manusia” . Masalahnya tidak banyak yang kita ketahui tentang 1% populasi ini
sementara studi-studi lebih banyak meneliti tentang orang-orang miskin dan
termarjinalisasi. Rasanya jadi percuma jika yang 1% dan sangat powerfull ini
semua serakah tentu tidak ada tempat bagi yang lain jika kita membayangkan
distribusi kesejahteraan yang menjadi akar segala alienasi dan perasaan
terdisrupsi ini.
Kritik terhadap kapitalisme di beberapa kesempatan
dalam forum yang diselenggarakan 18-19 Maret 2019 ini banyak menyinggung
peranan invisible hand yang akan
melakukan koreksi terhadap penyimpangan pasar yang ujung-ujungnya tidak hanya
eksploitasi pada manusia tetapi juga alam. Adam Smith adalah produk dari
jamannya yang barangkali relevan saat gagasan dalam The Wealth of Nation dicetuskan namun ketika kekuatan pasar lebih
dominan dan negara-negara menjadi kecil karenanya lantas siapa dan bagaimanakah mekanisme ini bekerja
toh nyatanya ketimpangan sosial masih lumrah terjadi dan disparitasnya
meninggi. Pada kasus ini sepertinya kita semua sepakat perlunya mengubah tidak
hanya cara pandang tetapi juga metodologi karena terbukti cara-cara lama tidak
berjalan. Pada kasus pemanasan global misalnya, upaya untuk menciptakan narasi
bersama ini dinodai oleh skema jual beli karbon disusul mundurnya Amerika dalam
Paris Agreement yang membuat banyak
negara akhirnya skeptis terhadap persoalan bersama ini. Belum lagi berbagai
program bantuan untuk negara-negara berkembang yang seringkali menjadi urusan
bisnis semata karena urusan jual beli teknologi yang konon akan mencegah negara
berkembang dari kiamat kecil dampak perubahan iklim, misalnya skema reklamasi
dan yang semacam itu. Hal-hal inilah yang membuat efek ketidakpercayaan mewabah
di mana-mana karena ketimpangan komunikasi. Dengan seluruh karut marut ini di
manakah posisi kita sebagai individu?
Memang benar perubahan tidak bisa dilakukan sendiri
tetapi saya percaya kekuatan individu bisa menjadi pemantiknya. Akan halnya
Greta Thunberg, pedagang sayur Tunisia dan banyak kasus yang lain membuat
agensi perorangan bisa memicu perubahan yang lain. Dan memang benar juga
bahwasanya peranan komunitas menjadi penting tetapi komunitas yang seperti apa?
Kelompok teroris juga merupakan komunitas jika hanya mengandaikan berdayanya
kelompok-kelompok. Nilai yang berusaha ditanamkan melalui Sustainable
Development Goals adalah salah satu yang perlu ada dalam komunitas dengan
batas-batas tertentu jika sekiranya perlu bisa disesuaikan dalam konteks lokal.
Namun spirit kelestarian hidup bersama saya rasa bisa menjadi nilai utama untuk
mereduksi berbagai tantangan global yang hari ini kita hadapi yang dampaknya
bisa kita rasakan di ranah paling privat sekalipun.
Perjalanan singkat di Berlin dan bertemu hampir 90
perwakilan dari berbagai negara ini menyadarkan saya bahwa apa yang saya hadapi
di kampung mempunyai resonansinya di kancah global. Berbagai disrupsi,
menguatnya politik identitas, perubahan
polariasi global, dan berbagai isu lain hari ini muncul dalam waktu yang hampir
bersamaan. Pada kasus Kampung Bustaman, menguatnya politik identitas juga
dipicu merasa terancamnya mereka oleh pembangunan yang massif dan menempatkan
warga sebagai objek semata. Perasaan terpinggir ini kadang menimbulkan sentimen
perlawanan dan solidaritas dengan mengadopsi simbol-simbol yang paling
primordial. Memang keadaannya tidaklah segawat itu tapi bukan tidak mungkin
bahaya laten ini bisa dipantik juga kondisi sosio politiknya mendukung. Frasa
ini rasanya juga tidak asing bukan sikap protektif Trump misalnya dan juga
kampanye sayap kanan mendapat tempat di mana-mana. Persoalan demi persoalan ini
tentu tak jarang membuat kita frustasi sebagai individu. Namun demi melihat
wajah-wajah muda dari berbagai dunia yang dengan antusias membicarakan hal ini
membuat saya semakin bersemangat bahwa ada yang masih bisa kita lakukan meski
kecil dan semoga bisa memberi inspirasi atau bergulir menjadi bola salju.
*penulis adalah peserta
Young Global Changer dan Global Solution Summit, sehari-hari mengajar
antropologi di FIB Undip dan CoInitiator Kolektif Hysteria Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar