Kamis, 26 Mei 2011
PROPAGANDA HYSTERIA edisi 80
Lingkar Bumi beraksi di Bukit Stonen
Tentu saja keprihatinan ini tidak semata merespons kasus bukit stonen. Ada hal hal yang lebih besar yang berimplikas pada kasus bukit stonen. Lemahnya supremasi hukum dan ketegasan aturan telah membuat beberapa pihak main seenaknya sendiri. Pembangunan suatu kawasan tidak dilengkapi ijin resmi. Dokumen semacam AMDAL, UKL/UPL, SPPL dan semacamnya seringkali menjadi hal-hal yang dihindari para pengusaha. Akibatnya adalah kerugian lingkungan dan sosial tidak terhindarkan.
Launching Lacikata
LACIKATA sebagai komunitas inisiasi Hysteria setelah dilakukan rapat koordinasi tertutup dengan para pengelola (Vivi, Ganz, dan Arif), akhirnya resmi berdiri dengan adanya acara launching komunitas pada hari Sabtu, 30 April 2011. Acara tersebut diadakan di Stonen no.29
Bendan Ngisor, Sabtu malam. Acara dimulai dengan sesi presentasi yang menjelaskan visi, misi, dan program-program baik eksternal maupun internal. kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi dengan tamu undangan yang hadir, di antaranya Komunitas Cakra, Open Mind Community, Teater Emka, Wardjito Soeharso (pengelola penulismuda.com). Pada sesi kesimpulan, ditegaskan kembali bahwa untuk menjadi ikon sastra di Semarang, LACIKATA perlu program-program yang memasyarakatkan sastra. Oleh karena itu, perlu pengorbanan yang lebih seperti kata Wardjito.
Acara selebrasi dimeriahkan oleh penampilan pembawaan dua buah lagu dari Goge Musical, pembacaan puisi dari perwakilan Teater Emka, Kurniawan Yunianto, Ganz Pecandukata, Arif Fitra Kurniawan, dan beberapa partisipan lainnya. Seusai acara launching, LACIKATA akan merealisasikan program-program rutinnya mulai bulan Mei.
Mengenang Asep, Rekonsiliasi Sastra Indonesia
Asep Sambodja barangkali tidak terkenal di Semarang. Namun gagasannya berlaku secara luas. Tidak hanya di kota tempat ia tinggal tetapi juga di Indonesia. Mungkin tidak baru, himbauan untuk menulis ulang sejarah sastra Indonesia. Namun, Asep Sambodja dengan ketekunannya berupaya mengampanyekan semangat itu. Sayang usianya pendek. Bukan berarti ide-idenya sependek usianya. Justru semangatnya untuk mengajak rekonsiliasi itulah yang terdengar berdengung-dengung hingga pantaslah kiranya Dewan Kesenian Semarang didukung Ultimus dan Hysteria menggelar acara memperingati meninggalnya Bung Asep (120411).
Banyak komunitas berdatangan di depan Lobi Dekase. Rata-rata masih muda, sebuah usia yang menarik untuk menyebarkan gagasan ini. Gagasan yang bagi beberapa senior kita terlalu tabu untuk diungkap. Terutama meyangkut keterpautan lembaga kebudayaan rakyat (Lekra) yang memegang peranan penting di masa-masa sebelum 65.
JALA Nelayan, solidaritas untuk masyarakat Nelayan
Acara diisi oleh berbagai penampilan mulai dari instalasi, performance art, tari, hingga orasi. Aksi berlangsung tertib dan tentu saja ke depan masyarakat butuh advokasi yang lebih real melalui piranti hukum dan kebijakan yang memihak.
Selasa, 24 Mei 2011
PROPAGANDA HYSTERIA EDISI 79!
Sabtu, 21 Mei 2011
forum sastra bulanan dekase#6
forum sastra bulanan ini digagas komite sastra dekase untuk membuat sebuah program yang rutin berkelanjutan dan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan dunia kesusastraan di SEmarang terutama. kali ini forum sastra bulanan melaunching dan membedah antologi puisi (e book) dari teman kita Ganjar Soedibyo atau lebih dikenal Ganz..ganjar juga salah satu pendiri lacikata. fenomena e book barangkali bisa jadi alternatif bagi para penulis muda dalam hal aktualisasi diri melalui media penerbitan. puisi-puisi ganz akan dibedah dan diapresiasi oleh Galin Pandu adi yang kita sudah tidak asing lagi serta oleh Janoary M Wibowo..selamat menikmati dan GRATIS!
Selasa, 17 Mei 2011
“IMAJINASI ADALAH ENERGI”
Universum Collective present
Pameran Seni Rupa "IMAJINASI ADALAH ENERGI"
20, 21 dan 22 Mei 2011
Jl. Stonen no.29 Semarang
Supported by Hysteria, Grobak A(r)t Kos, Propaganda Hysteria.
Universum Collective adalah wadah kreatifitas independent yang bergerak dan mencoba menampung letupan ide, gagasan, kebebasan berekspresi dan apresiasi seni dalam bentuk keberagaman karya. Para pelaku seni dari Universum Collective memiliki perspektif dan interpretasi masing-masing dalam berkarya. Kondisi inilah yang nantinya akan menciptakan ruang diskusi sebagai sarana edukasi baik bagi sesama pelaku seni maupun penikmat seni. Dan keberagaman ini tentunya akan dipelihara dan dikembangkan sebagai wujud apresiasi melalui karya-karya yang akan dipamerkan.
Yang melandasi tema “IMAJINASI ADALAH ENERGI” adalah bahwa karya seni itu terbentuk dari imajinasi para pelaku seni, sehingga akan menghasilkan suatu energi yang apabila diolah terus menerus akan menghasilkan karya seni yang luar biasa. Dan akan menciptakan suatu bahasa personal dengan tujuan sebagai sarana komunikasi antara pelaku seni dengan penikmat seni itu sendiri.
Dan pada kesempatan ini Universum Collective mempersembahkan pameran seni rupa “IMAJINASI ADALAH ENERGI” yang akan dibuka pada tanggal 20 Mei 2011, pukul.19.00 di Grobak A(r)t Kos Jl. Stonen no.29 Sampangan, Semarang. Dan diisi dengan acara teater dari Teater EMKA Semarang dan Tjerobong Paberik Bandung. Acara pameran diikuti oleh teman-teman pelaku seni dari kota Semarang, Bandung dan Yogjakarta.
Selamatkan Situs Watu Tugu!
12 Maret 2011, pukul 15.00. matahari mulai condong ke barat. Perlahan-lahan mulai tenggelam, namun tidak dengan ratusan orang yang terkumpul di TK An Nur, Kelurahan Tugurejo. Ratusan orang yang datang dari berbagai daerah itu (Surakarta, Jogjakarta, Jakarta, Kediri, Pati dan daerah-daerah lain) digerakkan oleh semangat yang sama. Digerakkan oleh rasa perih yang sama dan hati mereka berpaut membentuk sebuah kepedulian. Situs Watu Tugu! Sebuah situs yang usianya diperkirakan sezaman dengan Candi Prambanan, bahkan Raffles (Gubernur Hindia Belanda yang tersohor itu menulis bahwa situs ini adalah tapal batas antara Kerajaan Majapahit dan Pajajaran), dalam keadaan memprihatinkan. Bangunan candi yang sengaja dibuat oleh PT Tanah Mas tahun 1980 an ternyata tidak mampu menahan keusilan tangan-tangan pengunjung.
Hampir di seluruh tubuh situs watu juga dinding candi baru itu dipenuhi oleh coretan tangan. Baik dari tip ex maupun cat. Belum lagi ulah perusahaan pemecah batu di kaki candi menambah sederetan kisah pilu salah satu situs tertua di Semarang.
Rupanya keacuhan pemerintah dalam melestarikan cagar budaya ini membuat banyak seniman dan warga prihatin. Maka dalam sebuah forum kecil akhirnya disepakati bahwasanya tanggal 12 Maret juga harus melakukan sesuatu. Forum kecil yang digagas Janta Jabrik, Turah, dan Adin akhirnya menjadi embrio yang menggerakkan banyak seniman untuk terlibat. Berkat usaha gigih Slamet Gundono dan Joko Bibit berikut Pak RW 03 Kelurahan Tugu maka dihelatlah sebuah ritual kecil yang menarik perhatian banyak kalangan.
Grebeg Perih Ati Watu, begitulah acara itu diberi tajuk. Turut memeriahkan pula teman-teman teater ASA, Kaplink, Emka, Dipo, Wadas, Konsep, Cabang, Beta, Buih, Metafisis, SS, persona, Tesa, Jejak, Depan, Teras, Cengkir, Getar, Ruang, sanggar suket, Hysteria, serta Paguyuban Kapling Tugurejo. Tidak hanya itu acara ini juga diapresiasi dengan bagus oleh Ki Slamet Gundono, Didik Nini Towok, Gun Retno Sedulur Sikep, dan Mbak Ting tong dari Sahita. Mereka bahu-membahu menyukseskan acara yang berakhir pada pukul 22.00 WIB ini. Situs Watu Tugu yang biasanya gelap gulita malam itu bermandikan cahaya dan tetembangan.
Menariknya adalah acara ini murni inisiatif warga dan seniman. Bahkan para peserta rela untuk membayar iuran untuk beli makan dan transportasi. Tidak ada bantuan sepeserpun dari pemerintah terhadap acara yang secara estetika tidak kalah dengan proyek-prroyek kesenian berduit.
Ke depan diharapkan dari acara ini Situs Watu Tugu mendapat perhatian lebih sehingga tidak terbengkalai. Tentu bukan hal yang mudah untuk mewujudkan hal itu mengingat situs ini lama terabaikan baik dari sentuhan seniman dan budayawan senior di Semarang. Artinya situs ini benar-benar terabai, dan pemkot sepertinya acuh tak acuh terhadap keberadaan situs ini. apalagi mengingat masih beroperasinya pabrik pemecah batu yang potensi merusak kawasan candi. Dan memang benar gerakan peduli situs ini merupakan gerakan kesenian yang tentu saja kurang cukup kuat untuk dijadikan gerakan yang lebih realistis karena belum terlibatnya jaringan kerja multi disiplin untuk menyelamatkan candi berikut situs watu tugu. Namun demikian seperti diniatkan awal dari kesepakatan forum para penggagasnya bahwasanya aksi ini adalah hal yang paling kecil untuk berbuat sesuatu daripada mengutuk kegelapan terus menerus. Bahwa hari ini situs ini tetap saja terabai memang ya, namun setidaknya ada usaha untuk memulai gerakan penyadaran bahwasanya situs ini penting tidak hanya bagi penduduk Tugurejo, tidak hanya kota Semarang tetapi juga warisan peradaban masa lampau yang siapapun bisa belajar darinya.
Koin Sastra untuk HB Jassin
Tanggal 21 Maret 2011 kemarin Hysteria bersama Klinik dan Rumah Jeruk, Teater Emka, Komunitas Cinderella mengadakan aksi bersama di Jalan Pahlawan. Aksi pagi hari yang diberi tajuk ‘Ngemis’ itu merupakan respons terhadap dipangkasnya biaya pengelolaan PDS HB Jassin di Jakarta. Tidak ada perolahan signifikan dalam aksi galang dana itu karena seperti yang dituturkan Anton (Penggagas pertama) aksi itu sebentuk dukungan media dan upaya penyebaran isu di daerah perihal terancamnya PDS HB. Jassin. Aksi berlangung tertib dan mendapat respons bagus dari beragai media di daerah.
Men Sana In Corpora Money
Di dalam tubuh yang sehat terdapat uang yang kuat! Begitu kira-kira gagasan perhelatan seni digelar di Kota Kartini ini. Berbagai acara diadakan, mulai dari pembacaan puisi, pentas teater, hingga pameran lukisan. Bertempat di rumah dinas Wakil Bupati Rembang acara dimulai dari 25-30 Maret 2011.Hysteria sendiri berkesempatan ikut meramaikan pada tanggal 27nya. Sessi diskusi digelar untuk menyikapi banyaknya aktivitas anak muda yang potensial di kota pesisir ini namun seringkali terkendala masalah aksesibilitas dan distribusi kesempatan dari pusat yang tidak merata. Akibatnya aktivitas yang laten dan massif di daerah ini sering tidak terpetakan. Belum lagi friksi di antara kawan sesama aktivis sendiri seringkali bersifat kontra produktif dan masih banyak lagi persoalan yang mesti dipetakan satu-satu. Mulyanto Ari, yang akrab dipanggil Mas Mul sendiri meyakini secara semangat orang-orang daerah tidak mau kalah. Namun tentu saja mereka punya banyak sekali kekurangan yang kalau tidak disikapi secara arif berpotensi membunuh eksistensi mereka sendiri.
Belum lagi persoalan-persoalan sosial yang mereka hadapi, misalnya massifnya ambisi Bupati Rembang membangun proyek semen, privatisasi asset-asset daerah dan dugaan gurita korupsi yang ujung-ujungnya mentok di pengadilan karena berbagai alasan. Mereka bergumul dengan hal itu dan meresponnya sesuai kapasitas mereka melalui jalur kesenian.
Seni Berbasis Desa sebagai Sumber Kreatif
Desa seringkali dianggap sebagai ejekan. Kita sering mendengar kalau ada tawuran ada saja olok-olok “ndeso-ndeso” dengan demikian acapkali stigma desa identik dengan ketertinggalan, kebodohan, perilaku kasar dan hal –hal buruk lain. Padahal banyak sekali yang dapat dipelajari di desa. Terutama spirit gotong royong dan saling menghargai. Dalam rangka menggali spirit dari desa, Slamet Gundono di Sanggar Suket megadakan sarasehan kecil 27 Maret lalu. Berguru pada suku Samin di Sukolilo Pati nyata-nyata mereka mampu menghadang ambisi Semen Gresik untuk menambang Pegunungan Kendheng yang menjadi sumber mata air penduduk. Malam itu Janta Jabrik (seniman muda Solo), Arif Setya Budhi (Solo Institut) dan Adin (Direktur Hysteria) didaulat sebagai pemantik diskusi. Ketiganya bersepakat bahwa dari desa kita bisa belajar banyak kearifan lokal. Spirit desa ini menguat juga di berbagai kalangan komunitas. Bukan dalam bentuk visual tetapi nilai-nilai yang termanifestasi dalam pola gerak komunitas di kota. Tidak ada kesimpulan dalam diskusi malam itu. Tapi ada semangat yang sama soal menangkap problem-problem sosial sekarang ini yang rasa-rasanya semakin tidak terkendali. Untuk itu spirit kolektifitas menjadi penting menghadapi negara yang semakin abai terhadap hak-hak sipil.
WMS di Hysteria (lagi)
Klinik dan Rumah Jeruk; Kegilaan yang Menggetarkan
: Adin
Sebuah catatan penting untuk pertunjukan yang penting
Anggap saja kita tidak saling kenal, aku di sastra, kamu di teater, si B di seni rupa konseptual, si C di musik gak populer, si D di tari yang bukan proyek dan lain-lain. Kita tidak saling tertarik. Satu-satunya yang mempertemukan kita adalah kita ini sub kultur yang tumbuh di ruang sosial yang tidak memihak. Tidak memihak artinya keadaan sosio kultur yang memang tidak mempunyai daya dorong kita untuk bertahan. Di ruang sosial yang tidak memihak ini kita ternyata juga tidak saling peduli. semua bergerak sendiri-sendiri dan merasa hebat dengan capaian masing-masing. Beberapa kawan merasa lelah karena disorientasi dan tidak tahu lagi mau ngapain setelah ini. Masing-masing dari kita merasa sendirian dan tidak dipedulikan. Kita benar-benar capek.. Minim apresiasi dan gak pernah mau tahu. Kita tidak menyadari semua itu bahkan ketika satu persatu teman kita berhenti. Kita baru sadar ketika kita juga kelelahan dan terlambat. Dan celakanya siklus ini terulang terus menerus..siapa yang kita salahkan atas ketidakpedulian ini? pemerintah yang tidak peduli? masyarakat yang acuh? Kawan-kawan kita sendiri yang tidak mau tahu? Dan celakanya kita tidak pernah mempunyai data untuk menganalisis kesalahan kita sendiri yang kelak bisa diwarisi generasi mendatang supaya tidak terjebak pada lubang yang sama. Masa depan adalah hari ini yang penuh kegagalan tanpa usaha untuk lebih baik. Hanya mengulang siklus kematian yang sama. Dan begitulah yang aku rasakan selama di kota lunpia ini. Apa kamu merasa demikian? Syukurlah kalau tidak. Setidaknya pikiran cerewet ini tidak turut serta membebani dirimu.
Zombie-zombie Pagi Hari..project pertama Klinik dan Rumah Jeruk yang didedikasikan dalam rangka pembubaran komunitas Hysteria adalah salah satu upaya dalam seni pertunjukan untuk mengkritik hubungan manusia yang semakin reifikatif. Kita hanya sekumpulan benda yang dipertemukan karena nilai guna. Manusia semakin teralienasi dari hidupnya sendiri. Terlalu sibuk dengan diri sendiri dan tidak peduli dengan nilai-nilai yang lebih luas.
Zombie-zombie pagi hari juga sebah pertunjukan yang menggambarkan secara dramatis ilustrasi pada paragraf pertama yang sangat panjang di atas. Ilustrasi kehidupan berkesenian di Semarang yang acuh tak acuh dan tidak mau tahu. Bahkan untuk sekedar mendukung kegilaan mereka dalam melakukan eksplorasi artistik.
Pertunjukan dibuka pada tanggal 02 Maret 2011 pada pukul 20.00 dengan ditonton cukup enam orang dengan seorang berperan sebagai pemborong tiket. Sekedar informasi ini adalah pertunjukan pertama kali di Grobak A(r)t Kos yang bertiket. Satu tiket dipatok seharga Rp. 10.000,- dengan acuan jika tiket terjual minimal 5 pertunjukan akan dimainkan sesuai jadwal. Toleransi keterlambatan hanya diberikan hingga 15 menit terhitung dari dimulainya jam pertunjukan yang tertera di pamflet. Di luar kedua target itu pertunjukan akan dibatalkan dengan berbagai konsekuensinya. Ruang tamu Hysteria disulap sedemikian rupa. Sulur-sulur dari benang terpasang memenuhi sepanjang atap dengan di ujung sulur terdapat lukisan-lukisan dalam kertas kecil-kecil yang dibuat oleh Bayu Tambeng. Tata lampupun (oleh Viki dan Galih) dipersiapkan secara sungguh-sungguh. Dengan demikian bisa dibilang meski terkesan sederhana ini adalah pertunjukan yang tidak sekedar main-main.
Hari pertama 6 penonton rupanya memacu libido semua aktor untuk bermain total. Pertunjukan dibuka oleh nyanyian yang dibawakan oleh Bayu Tambeng. Tidak jelas betul memang keterkaitan antara pilihan lagu dan tema yang diusung kelompok eksperimental ini. Musik digunakan untuk membantu terciptanya suasana. Adegan kedua yakni pertemuan dua sejoli (diperankan oleh Umam dan Erna) yang sedang berteduh di hujan salju. Mereka berkenalan dan segera tertarik satu sama lain. Karakter khas kota yang semuanya serba instan. mendadak saja pada babak selanjutnya muncul satu mahluk berkepala monster dan cewek bertopeng berpesta sampai lelah dan segera saja mereka mendapatkan nada-nada kebosanan pada rutinitas setelah keduanya terlibat dalam percakapan. Hentakan musik Smash ikut menyeruak ketika muncul lima orang dengan kostum yang aneh pula berjoged-joged sampai puas. Di akhir kisah, seorang aktor muncul dengan membawa pencerahan ala MLM memberikan motivasi pada penonton. Dan tiba-tiba saja setelah lampu dimatikan sebentar motivator ini (diperankan oleh Umam, dengan demikian Umam berganti peran sebanyak 3 kali) berbusa mulutnya dan terkapar.
Bisa dikatakan pertunjukan dilangsungkan secara santai dan ringan. Pergantian babak juga berlangsung sangat sederhana. Bahkan untuk keperluan artistik pertunjukan ini tidak segan-segan menggunakan orang lain masuk dalam panggung untuk sekedar membuat hujan salju. Kipas angin digunakan secara mencolok untuk mendukung efek angin. Bagi beberapa yang menyepakati standar-standar pementasan yang serius saya yakin akan ada pendapat yang mengatakan bahwa Klinik dan Rumah Jeruk ini sangat main-main. Saya sendiri selaku figuran menganggap bahwa ini memang main-main. Namun bukan berarti tidak serius. Justru permainan ini memang dibutuhkan untuk memecah rutinitas yang membuat manusia terjebak pada hubungan nilai guna semata. Konsep reifikasi yang dipopulerkan George Lukacs rupa-rupanya menjadi titik kritik akan konsdisi manusia yang makin terasingkan. Apalagi dalam kondisi kehidupan kesenian di Semarang. Hal-hal eksperimentatif semacam ini jarang sekali mendapat tempat. Dan memang menurut pengakuan Umam (konseptor pertunjukan) berkesenian di Semarang harus disesuaikan dengan kondisi sosial dan psikologis masyarakatnya. Karakter Semarang cenderung tidak berkarakter, dan iklim mencari kerja ‘normal’ lebih dominan jika dibandingkan dengan iklim yang ada di kota-kota yang lebih maju infrastrukturnya. Tidak heran dalam beberapa kali pertunjukan yang dikonseptori Umam ini mengedepankan aspek visual, cair, main-main, lucu-lucuan, instan, heboh namun terkadang juga kritis. Pada prinsipnya sebuah pertunjukan harus disesuaikan dengan kebutuhan para pemainnya sendiri setelah itu baru kebutuhan penonton. Jelas dalam pertunjukan Zombie-zombie Pagi Hari konsep manusia sebagai homo ludens (mahluk yang bermain) dikedepankan. Sesuai dengan pengakuan mereka bahwa ide dasar tema ini adalah tulisan pendek Pinky yang mengeluh rerotnya menjadi ‘robot’. Dan idealnya permainan ini bisa melepaskan mereka dari rutinitas yang robotik!
Yang kemudian membuat saya heran dan mau gak mau tergetar adalah konsistensi mereka untuk menggelar 5 hari pertunjukan berturut-turut. Sebuah pilihan yang barangkali tidak akan pernah diambil oleh para pelaku seni pertunjukan di Semarang. Paling banter kelompok teater di Semarang memainkan pertunjukan yang sama hanya dalam tempo 2 hari saja. Dan Klinik dan Rumah Jeruk mengambil resiko kehilangan penonton! Maka itulah yang terjadi. Meminjam istilah Afrizal: Teater tanpa penonton. Secara substansial pertunjukan tidak ada yang berubah, hanya beberapa tampilan visual yang dalam segi-segi tertentu berubah.
Baiklah saya akan menceritakan hal yang menurut saya penting terkait pertunjukan ini. Pada hari kedua penonton hanya berjumlah empat orang. Karena target tiket tidak mencukupi para penonton mau tidak mau harus menutup pembelian satu tiket lagi untuk memenuhi kuota. Mereka urunan dan Klinik dan Rumah Jeruk akhirnya main hanya disaksikan empat penonton, dan mereka total dalam permainan itu!
Pada hari ketiga jumlah penonton cukup menggembirakan ada 12 orang dan salah satu penonton (Hery Priyono ) membooking pembelian tiket dari hari ketiga hingga terakhir. Artinya dia memborong tiket untuk memenuhi kuota.
Nah baru pada hari ke empat pemain gelisah karena hingga pukul 20.14 belum ada penonton yang datang. Artinya kalau lewat satu menit lagi berarti pertunjukan dibatalkan. Meskipun tiket telah dibooking pada hari selanjutnya, tentu tidak lucu kalau tidak ada penonton satupun. Akhirnya dengan ketawa-tawa pertunjukan dibatalkan sesuai kesepakatan antar pemain meskipun pada pkul 20.20 ada sekitar 6 orang datang untuk melihat pertunjukan. Klinik dan Rumah Jeruk menolak mereka dengan halus. Pertunjukan benar-benar batal!
Pada hari terakhir ruang tamu Hysteria diisi 6 orang dan pertunjukan kembali dilangsungkan dengan beberapa pengadeganan para pemain sudah kedodoran karena kecapekan barangkali.
Bagi saya melihat fenomena ini merupakan kegilaan. Bagaimana tidak gila mereka tetap memutuskan bermain dan setia pada komitmen awal. Sebuah kegilaan yang lagi-lagi menggetarkan hati saya dan membuat saya bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Apa yang mereka cari dalam semua keterbatasan ini? Kegilaan yang barangkali diperlukan dan bisa menjadi model bagi idealnya sebuah kepala yang keras untuk bersetia dan konsisten di Semarang. Kegilaan yang langka. Dan mereka punya! Tentu saja semoga setelah pertunjukan yang sangat melelahkan ini tidak lantas membuat mereka capek.
Sekali lagi respect pada Klinik dan Rumah Jeruk! Kami menunggu project-projectmu berikutnya.
Re Visi Hysteria
Terhitung sejak 7 Maret 2011 Hysteria merubah visinya yang awalnya hanya berorientasi pada bidang seni tertentu (Sastra) menjadi sebuah organisasi yang bergerak di bidang pemberdayaan anak muda berbasis komunitas. Pilihan sadar ini dipicu oleh keadaan infrastruktur kesenian di Indonesia yang tiada kunjung membaik. Rupa-rupanya negara tidak mempunyai strategi budaya yang tepat untuk menyikapi hal itu. Abainya pemerintah mengakibatkan banyak lembaga seni dan komunitas tidak tahu mesti kemana meminta pertanggungjawaban. Di sisi lain keadaan ini memicu masyarakat untuk lebih pintar-pintar berstrategi supaya bertahan.
Akibat kelemahan ini bisa dikatakan infrastruktur seni di indonesia dan terutama di Semarang dikendalikan oleh institusi yang mapan atau individu yang kuat. Ketiadaan regulasi menjadikan mekanisme berjalan chaos dan kadang cenderung manasuka. Dalam banalnya infrasturktur inilah pilihan berserikat, berkomunitas, maupun berorganisasi menajadi pilihan yang strategis sekaligus politis.
Seperti diketahui dan jamak jadi pengalaman bersama warga Semarang, banyak sekali komunitas yang bermunculan namun perlahan-lahan mati satu persatu. Sebagian orang menamakannya siklus, tapi bagi Hysteria menyerahkan semua ini sebagai semata siklus berarti menyerahkan semua ini dalam kendali mitologis. Semua dianggap terberi tanpa ada upaya mencari tahu, meriset, memetakan, dan menganalisi sebenarnya apa yang sedang terjadi di kota ini. Tentu bukan hal yang mudah untuk melakukan semua ini. Makanya hal terkecil yang bisa dilakukan Hysteria adalah melakukan semacam pendampingan untuk komunitas-komunitas seni di Semarang. Pendampingan ini tidak hanya berupaya pertemanan yang sifatnya sangat cair. Diharapkan dari pendampingan dan pembicaraan yang intens perlahan-lahan masing komunitas bisa mengidentifikasi dirinya sendiri, pada konteks apa dia dilahirkan, bagaimana mereka bersikap setelah memahami konteks dan program apa yang kelak disusun yang mempunyai sifat kesinambungan. Hasilnya adalah komunitas-komunitas sini kelak mandiri dan menularkan kepedulian terhadap komunitas yang lain. Infrastruktur idealnya diisi oleh berbagai spesifikasi tertentu. Misalnya dalam musik ada persewaan alat, soundsystem, artis, media, record dan lain-lain. Ketika masing-masing pihak hanya konsentrasi sebagai artis, maka strategi politis untuk mempercepat laju perkembangan scene musik akan tertinggal jauh dibanding dengan kota lain yang telah siap. Itu di musik, belum persoalan di seni sastra, teater dan lain-lain.
Untuk itu Hysteria tidak muluk-muluk, hanya beberapar komunitas saja yang kelak digandeng dan setelah mereka berhasil survive sudah saatnya hengkang dari partnership ini dan mengembangkannya di tempatnya sendiri. Namun lepasnya partnership ini bukan berarti lepasnya sama sekali hubungan. Justru hubungan yang telah ada sebelumnya terus menerus dirawat supaya lingkaran kepedulian masng-masing pelaku scene ini tersemangati dan mempunyai daya tahan yang bagus.
Perubahan visi Hysteria juga diwarnai peluncuran logo baru organisasi yang didesain oleh Tri Aryanto (pegiat street art di Semarang). Selain itu berbagai acara juga digelar. Selain tumpengan beberapa hari sebelumnya sempat dihelat seni pertunjukan oleh Klinik dan Rumah Jeruk (02-06 Maret 2011). Mengenai acara ini sendiri Hysteria akan membahas dalam tulisan yang lain mengingat bagi kami apa yang mereka lakukan layak dan harus untuk dicatat.
Persis tanggal 7 Maret launching logo Hysteria dan presentasi visi misi Hysteria dimeriahkan oleh teman-teman dari Teater Emka, Kawan Jogja, Lacikata, dan pemutaran film oleh Ayu seni tari Unnes.
Usaha Memetakan Diri Sendiri
Oleh-oleh paska lokakarya metodologi riset sejarah lisan dan pembuatan zine
Sudah sejak lama kami mencari tahu apa yang sebenarnya diidap oleh kota ini sehingga keadaannya terkesan stagnan. Salah satu temuan kami adalah minimnya kesadaran mencatatkan diri sendiri dan melakukan upaya-upaya mediasi ke luar. Ketiadaan catatan ini membuat aktivitas di Semarang nyaris tidak pernah terevaluasi dengan baik. Banyak komunitas yang tumbuh lalu mati dan begitu seterunya tanpa banyak meninggalkan apa –apa untuk dipelajari sehingga tidak terjebak dalam kesalahan yang sama oleh generasi di masa mendatang. Tiap kesalahan hari ini adalah perulangan dari kesalahan di masa lalu karena kesadaran mencatat yang rendah sehingga usaha untuk belajar dari sejarah tidak ada. Dan begitulah seterusnya. Mereka kebanyakan hanya meninggalkan mitos yang sulit untuk diverivikasi kebenarannya. Belum lagi ketiadaan lembaga penyedia akses data ini. paling-paling upaya pengarsipan ini dilakukan oleh personal-personal yang mana akan sulit diakses oleh pihak yang tidak dikenal. Semuanya jadi serba rumit memang.
Di sisi lain minimnya media komunitas juga membuat para pegiat di sini tidak mempunyai media kampanye sendiri. Hanya media-media yang besar saja yang mendominasi, misalnya koran. Tentu saja koran mempunyai kelebihan dan keterbatasannya sendiri lebih-lebih mereka mempunyai agenda setting mereka sendiri. Semua ini menjadi serba tidak menguntungkan karena para pelaku komunitas ini tidak mempunyai media yang menyuarakan mereka. Gampang saja, bikin aja mediamu! Begitu kira-kira slogan yang sering kita dengar. Namun pada kenyataannya membuat media baru bukanlah hal yang mudah. Media yang sering disebut zine ini beberapa rekan sempat membuatnya. Namun kebanyakan tidak banyak yang bertahan hingga 15 an edisi. Berdasar pengalaman kami ketika menyelenggarakan pameran zine tahun 2009, sedikit sekali orang atau komunitas yang mempunyai kesadaran ini. Tentu saja ini tidak pernah sebanding dengan banyaknya isu yang mesti disuarakan atau di counter.
Ada beberapa media yang bisa menjadi pilihan lain, sebut saja Mosh!, Java, dJava, Event dll tapi kesemuanya itu tidak bertahan lama. Bandingkan saja dengan Ripple, Suave, dan banyak lagi di Bandung yang turut serta membangun image dan mitos tentang kota mereka sendiri dan para pelaku kreatifnya.
Bagaimanapun, kesadaran mencatat, memediasi, merupakan salah satu bagian penting dalam strategi budaya. Tanpa itu semua kami pikir sebuah kemajuan akan tercapai dengan lambat. Untuk itu penting bagi Hysteria menyebarkan gagasan pentingnya catatan diri dan pentingnya kesadaran mengelola arus informasi dengan cara kita sendiri.
Gagasan itu akhirnya menjadi embrio bagi berlangsungnya lokakarya metodologi riset sejarah lisan dan pembuatan zine yang diselenggarakan pada 18-19 Maret lalu.
Pilihan jatuh pada Addy Gembel, koordinator Solidaritas Independen Bandung (pemateri sejarah lisan) dan Ika Vantiani (peniti pink,pemateri lokakarya zine dan seniman post card). Keduanya memberikan gambaran singkat terkait materi.
Pada hari pertama Addy Gembel menjelaskan apa itu sejarah lisan dan bagaimana menggunakannya sebagai alat bedah. Ketertarikan mengundang Addy tersebab aktifnya dia dalam pembentukan Bandung Oral History bersama Kimung, Reggi, Sinta Ridwan dan Ucok Homcide (kelak dalam BOH ini yang mengawal secara intensif adalah Kimung).
BOH sejauh amatan kami cukup menarik. Mereka adalah sekumpulan periset muda yang melakukan analisis terhadap apa-apa yang mereka sukai. Objek mereka diutamakan yang paling dekat dengan mereka. Bisa musik, fashion, seni tradisi dan lain-lain. Pendekatan yang digunakan adalah sejarah lisan dengan pementor utama Kimung. Kimung sendiri terbukti secara aktif mempraktikkan metode ini. Hasilnya adalah bukunya yang Myself: Scumbag yang rencananya dibikin trilogi. Ketiga kisah yang disusun sendiri adalah representasi perjalanan musik metal dan komunitasnya di Ujung Berung! Sebuah kawasan yang sarat akan aktivitas metal. Kalau dibandingkan di Semarang kesadaran semacam ini kami perhatikan sangatlah kurang. Sengaja topik ini memang dibatasi pada pemetaan di ranah musik mengingat pemetaan di ranah teater, dan sastra pernah Hysteria lakukan. Meski belum komprehensif setidak-tidaknya semoga mampu memberi inspirasi bahwa yang dibutuhkan Semarang tidak hanya artis. Tapi juga sarana pendukungnya juga harus dikuatkan.
Hari kedua, Ika Vantiani menjelaskan apa itu zine dan bagaimana perkembangannya di masa kini. Surutnya para zine maker di Semarang telah membuat kami merasa kehilangan. Minimnya media yang menjadi juru bicara komunitas rupa-rupanya tidak membuat mereka terpantik untuk melakukan mediasi melalui zine. Satu-persatu mereka berhenti dan lagi –lagi Semarang kekurangan dayanya untuk memproduksi informasi dan mengukuhkan mitos bagi komunitasnya sendiri di kotanya. Bisa saja mereka menggunakan sosial network yang akhir-akhir ini marak. Namun pilihan menggunakan zine sebagai media alternative mempunyai segi-segi yang tidak dimiliki media-media lain. Ika dan para peserta lokakarya setelah presentasi sebentar mereka langsung melakukan praktik membuat zine. Para peserta dari luar kota misalnya Solo dan Surabaya nampak paling antusias mengikuti lokakarya ini. Sayangnya dua alat yang diberikan Hysteria belumlah dikombinasikan secara maksimal. Begitu juga peserta workshopnya. Ada perbedaan peserta pada hari pertama dan kedua. Tidak semuanya mengikuti keduanya. Itulah yang kemudian menyulitkan kami untuk melakukan tindak lanjut yang lebih efektif.
Usaha yang dilakukan Hysteria kali ini memang disesuaikan dengan visi misi Hysteria yang mendukung penuh pertumbuhan komunitas yang ada di Semarang. Meskipun banyak kekurangan di sana sini namun bisa dikatakan secara produksi program Hysteria semakin fokus dan spesifik.